Pernah Rasulullah mengajak istrinya, Aisyah, untuk berlomba lari
dengannya. Rasulullah kalah. Lain kali Rasulullah kembali mengajak
Aisyah berlomba lari dan Rasulullah memenangkannya sehingga beliau
tertawa seraya berkata, “Ini pembalasan yang dulu.” Begitu Imam Ahmad
dan Abu Dawud menceritakan dalam hadisnya. Kata Muhammad Abdul Halim
Hamid, hadis ini shahih.
Rasulullah juga menunjukkan perhatian dan kemesraan kepada Aisyah
ketika meminum. Rasulullah meminum dari gelas yang sama dengan Aisyah
dan meminum di bekas tempat Aisyah meminum. Begitu yang diceritakan Imam
Muslim dalam hadisnya.
Begitu juga ketika mandi bersama, kadang Rasulullah menunjukkan
candanya. Bercanda dengan istri atau suami insya-Allah membawa kepada
kebaikan dan langgengnya perasaan cinta antara keduanya. Agama ini
bahkan menilai canda suami- istri sebagai tindakan di luar dzikrullah
yang tidak termasuk kesia-siaan.
Rasulullah Saw. bersabda, “Segala sesuatu selain dzikrullah itu
permainan dan kesia-siaan, kecuali terhadap empat hal; yaitu seorang
suami yang mencandai istrinya, seseorang yang melatih kudanya, seseorang
yang berjalan menuju dua sasaran (dalam permainan panah, termasuk juga
dalam berlomba), dan seseorang yang berlatih renang.” (HR. An-Nasa’i.
Shahih, kata Muhammad Abdul Halim Hamid).
Begitu dekatnya hubungan Rasulullah dengan istrinya, sehingga beliau
dapat mengenali kapan Aisyah marah dan kapan Aisyah ridha hanya dari
perbedaan diksi ketika berbicara kepada Rasulullah. Padahal Aisyah tidak
menampak-nampakkan emosinya.
Ketika rumah diwarnai dengan kehangatan, penerimaan, perhatian, dan
kasih- sayang, maka ia menjadi surga bagi penghuninya. Rumah tidak
sekedar bangunan kokoh dari batu bata dan semen. Rumah memberi arti
kedamaian dan keteduhan psikis. Dan ini lebih indah dari sekadar
kenikmatan hubungan seks berhenti sebagai peristiwa biologis
semata-semata. Jika hubungan seks tidak berhenti sebagai peristiwa
biologis semata-semata, ada keindahan yang lebih dari itu.
“Banyak orang yakin bahwa ekspresi yang ada dalam pandangan seseorang
dapat mengungkapkan isi hati seseorang,” kata Ruqayyah, “Pasti,
pandangan kekasih adalah hal yang paling menyenangkan dan menenteramkan.
Banyak kaum istri yang mendambakan pandangan semacam itu, sekalipun
mereka sudah menikah selama bertahun-tahun.”
“Jika Anda tak dapat membuat diri Anda untuk memandang dan
memperhatikan istri Anda,” kata Ruqayyah lebih lanjut, “maka baginya itu
adalah tanda bahwa Anda tak benar-benar mencintainya. Walaupun tidak
menyenangkan dan tampak berlebihan, banyak wanita merasa tersentuh
sekali jika seorang laki-laki benar-benar mengucapkan bahwa ia
mencintainya.”
Rasulullah kadang memanggil Aisyah dengan sebutan humaira’ (wanita
yang pipinya bersemu merah). Ini merupakan panggilan mesra seorang suami
kepada istrinya. Bagaimana dengan kita?
Ungkapan cinta merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi seorang
istri. Mungkin Anda benar-benar mencintainya. Meskipun demikian, jika
tidak pernah Anda ungkapkan melalui kata-kata mesra ketika tidak sedang
berjima’, cinta itu bisa terasa hambar baginya. Begitu juga pandangan
mata.
Kebutuhan untuk mendengar dan didengarkan merupakan sesuatu yang
penting, termasuk mendengar perkataan cinta suaminya. Manusia mempunyai
kebutuhan untuk itu.
Seorang istri mempunyai kebutuhan untuk didengar perasaannya. Ia
butuh ada orang yang mau menerima ceritanya, tentang kelelahannya,
tentang kecemasannya menunggu Anda, dan isyarat-isyarat yang
diberikannya.
Suami adakalanya tidak bisa mendengarkan ungkapan perasaan istri
sebagaimana yang diharapkan. Ketika istri bercerita tentang betapa
capeknya ia hari itu dengan mencuci popok yang bertumpuk dan anaknya
yang cerewet (atau cerdas?), suami segera menanggapinya sebagai
persoalan yang perlu segera diselesaikan agar tidak menjadi masalah.
Yang terjadi kemudian, istri justru jengkel. Persoalan ini terlalu
sepele untuk didiskusikan. Yang ia butuhkan adalah kekasih yang mau
mendengarkan. Mendengar inilah yang berharga. Bukan pembahasan mengenai
masalah yang disampaikan.
“Keunikan” istri yang semacam ini kadang membingungkan suami.
Padahal, suami juga mempunyai sikap serupa. Hanya obyeknya yang berbeda.
Lihat saja bagaimana para bapak yang baru selesai menyaksikan siaran
langsung sepak bola. Mereka sibuk membicarakan tendangan pemain dari
kesebelasan favoritnya dengan rekan-rekannya yang juga menyaksikan,
semeja lagi. Mereka membicarakan, kalau mau jujur, bukan untuk memberi
informasi karena mereka sudah sama-sama tahu.[islampos]
Mereka juga tidak mendiskusikan untuk memperoleh pemecahan masalah
karena mereka tidak memiliki kompetensi untuk membicarakan. Mereka
membicarakan pertandingan sepak bola yang baru saja selesai sebagai
luapan perasaan yang butuh disampaikan dan butuh ada yang mau
mendengarkan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar